Di tengah arus dunia yang makin digital dan kesemrawutan komunikasi publik, buku tetap dan akan terus eksis.
Bung Jep
Seorang Sahabat Jep, sebut saja IR, ingin menerbitkan buku di Jejak Pustaka. Naskahnya berisi kumpulan resensi yang sebagian besar pernah dimuat di berbagai media daring. Walaupun sudah tayang melalui media daring, IR tampak masih merasa bahwa karyanya terserak. Belum terhimpun jadi satu. Oleh karena itu, penyatuan tulisan-tulisannya ke dalam artefak yang dapat dipegang, dibawa ke mana-mana, dibolak-balik dengan tangan, dan dihirup aromanya adalah jalan ninja yang harus ditempuh. Dan artefak itu adalah buku.

Apa yang dilakukan oleh IR setidaknya menunjukkan beberapa hal, di antaranya bahwa media daring semacam menjadi persinggahan. Eksistensi sesungguhnya adalah buku. Buku semacam menjadi bentuk yang paling dipercaya untuk menyimpan sekaligus mendistribusikan gagasan. Mungkin dalam konteks Bourdieu, buku sudah menjadi media yang dilegitimasi. Dan Buku seperti jalan menuju ke persoalan ekosistem literasi yang lebih luas.
Buku semacam menjadi bentuk yang paling dipercaya untuk menyimpan sekaligus mendistribusikan gagasan. Mungkin dalam konteks Bourdieu, buku sudah menjadi media yang dilegitimasi.
Sekarang coba bayangkan Sahabat Jep jika buku dalam pengertian fisik sudah tidak beredar lagi. Banyak media daring yang menyediakan rubrik resensi dengan berbagai nama, misalnya, Resensi, Baca Buku, Rehal, Ulasan Buku dan sebagainya. Semuanya, sepengetahuan Bung Jep, membutuhkan buku untuk diulas. Dan setiap kali muncul media baru, rubrik tersebut tetap ada, dan rasanya akan terus eksis.
Jika buku tak ada, tak mungkin Muhidin M. Dahlan repot-repot menulis buku tentang pedoman menulis resensi yang menarik minat penggila baca buku. Walaupun buku tersebut berisi tentang resensi, tak menutup peluang bagi penulis lain untuk menulis resensi atas buku tentang resensi tersebut.
Selain itu, hambar rasanya jika acara launching, diskusi, dan bedah buku tak menyertakan buku fisiknya. Sependek pengalaman Bung Jep, belum ada acara semacam itu untuk membahas e-book. Melalui acara-acara diskusi, buku dapat lebih akrab dengan pembacanya, dan tentu akan sangat membantu bagi perkembangan penulisnya.
Karya-karya yang sifatnya terbit berkala di media daring maupun cetak, hasil sayembara dan lomba, luaran pelatihan ataupun seminar, tetap dan merasa perlu untuk dibukukan. Baru-baru ini Bung Jep ngobrol dengan seorang kawan. Di desanya, cerita-cerita rakyat, legenda, dan sejarah, masih terekam secara lisan. Sementara itu, generasi milenial sangat membutuhkan informasi tentang segala ikhwal tempat tinggalnya sebagai bahan pembelajaran dan bahkan pedoman menentukan sikap. Repot dong kalau informan sudah meninggal tapi belum sempat mendongengkan kepada anak cucunya. Maka, membukukan kisah atau sejarah lisan menjadi sangat penting.
Bahkan dalam konteks paling paling pragmatis pun, buku menjadi entitas yang penting dan berpengaruh besar. Di tengah arus dunia yang makin digital dan kesemrawutan komunikasi publik, buku tetap dan akan terus eksis.